Jumlah Pengunjung

20170908

Renungan " Membangun Keluarga Yang Setia Kepada Tuhan"

Membangun Keluarga Yang Setia Kepada Tuhan

Yosua 24:14-15

Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN. Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!" 


Ketika Allah menciptakan manusia pertama yang bernama Adam, Ia berfirman : "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." 

Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kejadian 2:15 -24). Inilah ' Keluarga Pertama' yang dibentuk oleh Allah sendiri!


Jadi inisiatif berkeluarga itu adalah inisiatif Allah. Sebagai orang percaya maka sudah seharusnyalah kita tetap menaruh dalam hati kita dan mempercayainya bahwa kita berkeluarga juga berdasarkan inisiatif Allah. Karena kita percaya ini adalah inisiatif Allah, maka sudah selayaknya lah Allah menjadi pemimpin keluarga kita. Ini idealnya! Ini yang benar!


Bagaimana realitanya? Apakah keluarga kita berbeda dengan keluarga-keluarga lain, termasuk keluarga yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan?

Nyatanya keluarga saya dan keluarga Kristen lainnya tidak beda dengan keluarga duniawi. Sama sekali tidak beda. Menyunting dari Buletin  Parakaleo (Edisi Apr. - Juni 1997) ditulis oleh Pdt. Dr. Yakub B. Susabda : "Dalam realitanya kebanyakan orang Kristen menjalani kehidupan pernikahan dan keluarga yang sekali-kali tidak berbeda dari orang-orang non-Kristen. Yaitu kehidupan pernikahan dan keluarga "yang alami/natural" di mana orang bertemu, saling mencinta, membuat tekad bersama, meresmikan ikatan mereka, hidup bersama, bekerja mengumpulkan uang dan harta benda (untuk dinikmati bersama sampai hari tua), melahirkan anak-anak, mendidik, membesarkan, dan mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang mandiri dan bahagia. Yah suatu kehidupan dengan tujuan kebahagiaan.

Inilah tujuan dari pernikahan dan keluarga "yang alami" yang memang secara praktis sudah coba dijalani oleh hampir setiap orang, termasuk umat Kristiani. Tidak heran jikalau pergumulan mereka dalam pernikahan dan keluarga seringkali hanyalah untuk mengatasi dan menyelesaikan hambatan-hambatan dalam proses pernikahan dan keluarga mereka yang *KOSONG* untuk membentuk pernikahan dan membangun keluarga yang bahagia adalah suatu kesia-siaan jikalau itu semata- mata manifestasi proses alami, tanpa tujuan seperti yang telah ditetapkan oleh Allah."


Sungguh menyedihkan bukan? Kalau sudah begini, bagaimana bisa kita membangun keluarga yang setia kepada Tuhan Allah?


Yosua 24:14 dengan tegas mengatakan : "Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN."


Beribadah kepada Tuhan adalah bentuk kesetiaan kita kepadaNYA. Yang menjadi pertanyaan dan harus kita pertanyakan dengan sungguh hati adalah :" Mengapa keluarga harus beribadah kepadaNya dengan tulus ikhlas dan setia?"

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengajukan juga pertanyaan :" Apa tujuan Allah membentuk keluarga?"

Jika melihat kepada kitab Kejadian 2: 15-24 kita harus menggumuli tujuan Allah membentuk keluarga? Apakah hanya untuk memenuhi kebutuhan sexual pria? Apakah memang hanya untuk mengisi rasa kesepian jika pria itu seorang diri saja? Atau persis seperti yang kita baca pada kutipan di atas? Yaitu sekedar mencari bahagia! Ternyata masih banyak hal yang perlu kita gumuli. 


Menurut Alkitab jelas sekali tujuan Allah menciptakan manusia adalah: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Inilah firman Allah pada Kej 1:28


Jadi dapat disimpulkan bahwa kita berkeluarga untuk melahirkan anak-anak Allah yang akan memenuhi bumi yang kemudian akan menjadi wakil Nya untuk mengelola bumi ini dengan baik dan benar.


Akan tetapi dengan jatuhnya manusia kedalam dosa pada Kej 3: 1-24 maka rusaklah hubungan manusia dengan Allah, sehingga juga rusaklah seluruh manusia itu. Jadi karena secara genetik sudah tidak baik, pastilah menurunkan keturunan yang rusak pula. Hingga tujuan Allah yang begitu baik dan mulia ini turut dirusak oleh manusia.


Apakah dengan kejadian ini Tujuan Allah menjadi berubah? Sama sekali tidak!! Itulah sebabnya Allah terus mencari manusia yang mau dipulihkan dari dosanya, sejak Perjanjian Lama kita melihat pahlawan-pahlawan iman yang ringkasannya kita dapat baca pada Ibrani 11: 1-40. Yang menjadi klimaknya adalah pengorbanan Yesus Kristus di Kayu Salib. Melalui Kayu Salib inilah, membuat mudah jalannya bagi manusia yang ingin menjadi partner Allah dalam membentuk keluarga yang melahirkan anak-anak Allah.


Jadi bertobat menjadi jawaban bagi kita yang ingin membangun keluarga yang setia kepada Allah. 

Jawaban ini pula yang ditulis oleh Yosua pada ayat 15 : "Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!"


Yosua telah menentukan pilihannya dengan jelas dan mantap, dan ini sekigus menjadi sebuah tantangan kepada seluruh bangsa Israel pada saat itu.


Ada yang perlu kita renungkan adalah mengapa pada masa akhir hidup Yosua mengajukan tantangan ini? 

Jika kita pelajari Alkitab maka pada Kitab Yosua 23 : 1; Lama setelah TUHAN mengaruniakan keamanan kepada orang Israel ke segala penjuru terhadap semua musuhnya, dan ketika Yosua telah tua dan lanjut umur. 


Jelas sekali keadaan pada saat itu rakyat Israel sedang merasakan kenyamanan, keamanan mungkin juga penuh dengan sukacita karena setelah perjalanan yang cukup lama yaitu 40 tahun sejak keluar dari Mesir hingga ke Tanah Perjanjian yang penuh dengan kesukaran dan peperangan. Sekarang semuanya sudah berakhir. Akan tetapi Yosua perlu memberikan peringatan terakhir sebelum ia dipanggil pulang Allah, walau semua tampaknya aman dan tenang tetapi di sana ada banyak perangkap sehingga bisa saja rakyat Israel kembali kejalan yang salah. 

Perhatikan apa yang ditulis pada pada Yosua 23 : 13;  maka ketahuilah dengan sesungguhnya, bahwa TUHAN, Allahmu, tidak akan menghalau lagi bangsa-bangsa itu dari depanmu. Tetapi mereka akan menjadi perangkap dan jerat bagimu, menjadi cambuk pada lambungmu dan duri di matamu, sampai kamu binasa dari tanah yang baik ini, yang telah diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. 


Mengacu pada zaman Yosua menulis nasihat ini, bisa kita persamakan dengan keadaan saat ini. Jadi jebakan untuk tidak setia kepada Allah bukan pada saat kesulitan atau tekanan, tetapi justru pada saat seluruhnya terlihat aman, dan tenang sehingga kita lengah.


Ketika ada ajakan untuk membangun keluarga yang setia kepada Allah, kita dengan mudah mengatakan saya sudah beribadah kepada Tuhan! Setiap hari minggu saya dan keluarga datang beribadah di Gereja. Saya dan keluarga memberikan perpuluhan, dan masih banyak lagi bukti - bukti lain untuk pembelaan diri kita dihadapan orang-orang banyak, bahwa saya sudah membangun keluarga yang setia kepada Allah!


Apakah benar bahwa kita sudah dengan benar beribadah dan membangun keluarga yang setia kepada Allah? Bagaimana menurut penilaian Allah sendiri?

Masih bisakah kita membela diri di hadapan NYA bahwa kita telah  berhasil membangun keluarga yang setia kepada Nya?


Suatu ketika saya mendapatkan tugas pekerjaan ke kota Surabaya, disana saya bertemu dengan seorang distributor perusahaan tempat saya bekerja. Keluarga kolega saya ini kebanyakan menjadi pengusaha yang sukses di kota Surabaya. Pada saat saya berjalan bersamanya ada sebuah spanduk yang besar di persimpangan jalan, yang isinya mengajak masyarakat Surabaya yang beragama Kristen untuk menghadiri sebuah kebaktian yang dipimpin oleh seorang tokoh dari Jakarta, lengkap dengan fotonya. Ketika melihat spanduk itu kolega saya mengatakan sambil menujuk foto itu, orang ini mulai hari senin hingga sabtu menipu orang-orang dalam bisnisnya, dan hari minggu dia menipu Tuhannya seolah-olah ia orang baik. Saya terkejut mendengar tudingannya, tanpa bisa berkata apa-apa karena memang tidak mengenal orang yang ditunjuk itu, termasuk sepak terjangnya.

Saya hanya bisa mengeluarkan kata-kata: " Ooh, ya!" Dan tidak memperdulikan ucapannya karena kolega saya bukan seorang Kristen. Jadi saya pikir ya mungkin ia hanya sentimen saja kepada pengikut Kristus.


Mengapa sang tokoh dalam spanduk itu sampai dituduh demikian? Saya pikir pasti ada sepak terjangnya yang membuat orang membuat kesimpulan seperti itu, inilah yang membuat batu sandungan bagi Kristus yang telah mengorbankan nyawanya.


Banyak orang Kristen merasa sudah beribadah kepada Allah jika sudah datang kegereja setiap minggunya, dan hari-hari lainnya ia bertindak dan berlaku persis seperti orang dunia. 

Berbohong sedikit disana, menipu sedikit disini, dan sedikit menyerempet daerah abu-abu agar apa yang diharapkan atau dicita-citakan dapat tercapai. Istilah populer dalam dunia bisnis dan pekerjaan adalah sikut kiri, sikut kanan yang penting diri sendiri aman dan mapan.

Ah, saya tidak melakukan hal tersebut di atas! Perlu kita perhatikan, apakah kita mempunyai berhala modern lainnya?Yang tanpa sadar kita beribadah dengan setia kepada ilah-ilah modern tersebut seperti Hedonisme, Sex, Kekuasaan, Ketenaran dan banyak yang lainnya.


Jadi harus bagaimana? Bagaimana saya harus beribadah?

Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu kita periksa, apa arti ibadah menurut Alkitab?

Alkitab mengatakan:" jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut." (Ibrani 12: 8). Mirip dengan Yosua 24:14 


Bagaimana caranya beribadah yang berkenan kepada-Nya dan dengan hormat dan takut?

Beribadah yang berkenan adalah dinilai dengan sepak terjang kita sehari-hari, sudahkah kita menunjukkan bahwa yang menuntun hidup kita adalah Allah. Untuk lebih jelasnya marilah kita belajar bagaimana firman Allah menjelaskan kepada kita :" Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya."

Kemudian lebih lanjut firman Allah berkata :" Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya."  

Firman ini bisa dipelajari pada Yakobus 1: 22-26. 

Kata ' tidak mengekang lidahnya' dapat juga kita kembangkan bukan hanya lidah tetapi perbuatan (tidak mengekang perbuatan) dan ini mencerminkan tidak sebagai pelaku Firman!


Pada hari minggu tanggal 3 Sept 2017, Pdt Ruben Hutagalung menjelaskan arti kata 'Setia'.  Setia artinya melakukan sesuatu dengan penuh dengan integritas dan loyalitas'. Ini suatu hal yang sangat sulit yang harus dihadapi oleh orang Kristen. 


Jadi kalau melihat hal ini perlu kita pertanyakan baik-baik, tatkala kita sebagai Ayah, Ibu atau anak-anak, apakah kita dapat menjadi keluarga yang setia kepada Tuhan? Melakukan segala sesuatu dengan penuh integritas dan loyalitas kepada Allah?

Jika melihat penjelasan di atas tentang hubungan kita dengan orang luar, jelas kita belum setia kepada Allah.

Sekarang periksa bagaimana hubungan kita dalam keluarga? Apakah kita telah melakukan firman Allah di dalam keluarga kita? Menjadi suami yang setia pada pernikahan, menjadi ibu yang setia kepada tugas dan kewajiban sebagai ibu? Kalau ini belum kita lakukan bagaimana kita dapat mendidik anak-anak kita untuk setia kepada Allah? Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kita telah membangun keluarga yang setia kepada Allah?


Orang-orang sekitar kita dapat kita kelabui, tetapi Allah tahu! Ungkapan ini sering kita abaikan, seolah-olah ungkapan untuk anak-anak sekolah minggu, bukan untuk kita yang telah dewasa. Kan anak-anak paling takut kalau dikatakan;' awas Tuhan lihat lho!'


Pada saat berkhotbah Pdt . Ruben menanyakan kepada jemaat:" Apakah jemaat mempunyai rasa takut kepada Allah?" Ada seorang jemaat yang hadir mengatakan "Tidak!"


Ketika saya renungkan mengapa jemaat tersebut mengatakan ' Tidak !', saya mengerti tatkala melihat kedalam diri saya sendiri, sebenarnya memang kita semua rata-rata ketika berbuat dosa (actual sin), lebih takut ketahuan oleh sesama manusia dari pada Allah!


Lebih lanjut Pdt Ruben menegaskan;' mengapa kita tidak berpikir bahwa ada Allah di samping kita! Janganlah satu kaki kita berpijak kepada Kristus, dan kaki yang satu berpijak pada Iblis.


Firman Allah berkata: "Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya." (Mat 18:7)

Bagiamana kita dapat membangun keluarga yang setia kepada Allah, jika kita sendiri tidak setia kepadaNYA!

Kalau kita sebagai kepala rumah tangga atau ibu rumah tangga tidak setia kepada Allah, itu berarti kita turut bersama dunia melakukan penyesatan kepada anak-anak atau anggota keluarga kita sendiri, bukan?, dan Allah berkata:" Celakalah kamu!"


Coba renungkan segala perbuatan kita dengan sungguh-sungguh! Kita sadar bahwa hidup kita belumlah benar, masih banyak dosa aktual yang melingkupi kehidupan kita. Kita masih belum setia.


Akan tetapi kita tidak perlu kecil hati karena Allah juga mengetahui kelemahan kita, dan Allah yang kita sembah adalah Allah yang  setia kepada perjanjianNya yaitu Ia tetap mengasihi manusia, asal kita mau berbalik kepadaNya juga dengan penuh kesetiaan!!


Marilah kita lakukan seperti apa yang bangsa Israel katakan kepada Yosua : "Tidak, hanya kepada TUHAN saja kami akan beribadah." Kemudian berkatalah Yosua kepada bangsa itu: "Kamulah saksi terhadap kamu sendiri, bahwa kamu telah memilih TUHAN untuk beribadah kepada-Nya." Jawab mereka: "Kamilah saksi!" Ia berkata: "Maka sekarang, jauhkanlah allah asing yang ada di tengah-tengah kamu dan condongkanlah hatimu kepada TUHAN, Allah Israel." Lalu jawab bangsa itu kepada Yosua: "Kepada TUHAN, Allah kita, kami akan beribadah, dan firman-Nya akan kami dengarkan."


Marilah sidang pembaca bersama saya bertobat sehingga kita bersama-sama dapat membangun keluarga yang setia kepada Allah. Maka dengan berani kita katakan :" Saya adalah saksi terhadap diri saya sendiri, dan saya berserta keluarga akan setia hanya kepada NYA!"


Bogor 6 Sept 2017

Luki F. Hardian





20160812

Renungan " Lidia - Seorang Wanita Karier "


Lidia - Seorang Wanita Karier 
(Kis 16:14-15 dan ayat 40)
14. Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus. (15) Sesudah ia dibaptis bersama-sama dengan seisi rumahnya, ia mengajak kami, katanya: "Jika kamu berpendapat, bahwa aku sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku." Ia mendesak sampai kami menerimanya. 

 (40) Lalu mereka meninggalkan penjara itu dan pergi ke rumah Lidia; dan setelah bertemu dengan saudara-saudara di situ dan menghiburkan mereka, berangkatlah kedua rasul itu.

Allah membukakan hati (Ayat 14). 
Apa yang sebenarnya di cari oleh manusia di seluruh dunia? Atau mungkin yang lebih spesifik :"Apakah yang engkau cari di dunia ini?" Jika mendadak ada orang yang bertanya kepada kita, pertanyaan tersebut, apa kira - kira jawaban kita?
Menurut majalah Observer : "Everybody wants what feels good. Everyone wants to live a carefree, happy and easy life, to fall in love and have amazing sex and relationships, to look perfect and make money and be popular and well-respected and admired and a total baller to the point that people part like the Red Sea when you walk into the room".

Ketika melihat apa yang ditulis oleh majalah Observer dan mempelajarinya, ternyata bisa lebih dari satu yang kita dambakan. Yang sedang tertekan hidupnya tentu ingin "feels good", yang sedang tidak baik hubungan suami - istri tentu mendambakan "Happy and easy life". Yang merasa kehilangan jati diri, hidup tidak dianggap oleh lingkungannya tentu mendambakan "be popular and well-respected"
Dan masih banyak lagi dan mungkin tidak termasuk yang didaftar oleh majalah Observer.

Yang menjadi pertanyaan penting selanjutnya adalah "Apakah mudah mendapatkan semuanya itu?"
Manusia mengais-ngais hal yang sebenarnya tidak penting, maksudnya bukan hal yang utama! Hal yang sia-sia, akan tetapi manusia dengan berbagai cara untuk mendapatkannya. Akibat dari semuanya itu maka di dunia saat ini ada kurang lebih 4200 agama. Inilah manifestasi manusia untuk mendapatkan hal yang sia-sia? Mungkin banyak orang yang tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi apapun alasannya, ada satu kebenaran bahwa  begitu banyaknya agama didunia yang timbul dikarenakan agama yang semula ia anut sudah tidak bisa lagi memuaskan dirinya. Kalau sudah puas kan tidak mungkin mencari yang lain?

Jadi dalam hidup kita ini ada demikian banyak pertanyaan, keinginan, ambisi atau yang lainnya, dan ketika kita tidak menemukan cara untuk mendapatkannya, kita menjadi marah, jengkel dan putus asa.
Mengapa kita tidak kembali saja kepada Alkitab? Ya, Alkitab!

Pada Lukas 12:30 dikatakan "Semua itu dicari bangsa-bangsa di dunia yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu tahu, bahwa kamu memang memerlukan semuanya itu."

Untuk lebih jelas tentang arti kehidupan, mari kita telaah bacaan firman Allah hari ini mulai dari Kisah 16:14. Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus. 

Lidia adalah seorang wanita kaya, yang mempunyai profesi sebagai penjual kain ungu dari kota Tiatira.
Kota Tiatira terletak di daerah Turki, daerah Asia. Ia seorang wanita Asia yang sukses, meninggalkan berbagai pembatasan di Tiatira untuk mencoba memajukan bisnisnya di Filipi, kota yang lebih terbuka baginya. Filipi terletak di Yunani, dataran Eropa.
Kalau melihat perjalanan dari Lidia, bisa menggambarkan bagaimana seorang wirausaha yang tidak berbeda dengan zaman sekarang. Seorang pebisnis tentu tidak terikat oleh satu wilayah, ia akan mencari daerah yang dapat mendatangkan laba.
Lidia adalah seorang non Yahudi yang pindah agama Yahudi. Ia sembahyang di tempat sembahyang orang Yahudi di tepi sungai bersama dengan para wanita Yahudi lainnya. Mereka nampaknya tidak memiliki sebuah synagog, sehingga mereka pergi ke tempat ini, di tepi sungai itu untuk berdoa pada hari Sabat. Paulus dan rekan-rekannya datang dan berkhotbah kepada sekelompok wanita ini. Dan ayat ini berkata bahwa Lidia "turut mendengarkan." (Kis 16:13 Pada hari Sabat kami ke luar pintu gerbang kota. Kami menyusur tepi sungai dan menemukan tempat sembahyang Yahudi, yang sudah kami duga ada di situ; setelah duduk, kami berbicara kepada perempuan-perempuan yang ada berkumpul di situ.)

Lidia hidup di Tiatira sebuah kota yang merupakan muara pertemuan banyak bangsa. Sifat kosmopolitan daerah itu terbukti dari berbagai nama yang telah ditemukan pada monumen-monumen kuno. Keanekaragaman tersebut juga tercermin dalam kecenderungan daerah itu untuk menjadi tempat pemujaan kepercayaan yang politeis. Objek pemujaan yang terutama ialah Apollo, yang disembah sebagai dewa matahari dengan nama Tirannus, tetapi ia hanyalah satu dari banyak dewa lainnya.  Jadi demikianlah suasana kebudayaan, industri, dan agama di tempat Lidia berasal.
Meskipun demikian, pada suatu ketika Lidia meninggalkan Asia Kecil dan pindah ke Filipi, kota utama di Makedonia (sekarang wilayah Yunani utara), yang jauhnya memerlukan perjalanan dua hari melalui Sungai Aegea dan menyusuri hampir 240 km perjalanan ke arah pantai dari propinsi Lidia—tentunya bukan perjalanan mudah di abad pertama. Alasannya untuk pindah ke Filipi mungkin beragam, tetapi salah satu faktor pemicunya mungkin karena orang-orang di Filipi mempunyai pandangan yang lebih luas tentang hak-hak wanita daripada kebudayaan di Asia Kecil. Alhasil, Lidia mempunyai lebih banyak kebebasan di Filipi daripada di Tiatira, dan luasnya kebebasan inilah yang membuatnya berhasil menjadi pebisnis wanita yang sukses. (Paragraf ini disunting dari buku Sorotan Iman)

Ada suatu pertanyaan dalam kehidupan Lidia ini, bagaimana seorang yang bukan orang Yahudi bisa tertarik dan mengikuti ajaran agama Yahudi. Padahal ia dibesar di dua kota kafir saat itu, baik Tiatira maupun Filipi, kedua-duanya kota modern pada saat itu. Kota Sekuler!
Karena hal ini tidak diungkapkan dalam Alkitab, kita hanya bisa menebaknya dalam sudut pandang manusia yang terbatas ini. Saya pikir mungkin Lidia juga seperti manusia pada umumnya mencari sesuatu yang bisa membawa kebahagiaan, kehidupan yang tenang, dan terbebas dari masalah. Kepercayaan orang-orang sekitarnya terhadap dewa-dewa, tidak membawa Lidia kepada sukacita yang ia cari. Oleh karena itu ia mulai berpindah dengan mengikuti kehidupan orang Yahudi, yang pada hari Sabat berkumpul bersama dan mempelajari Firman Allah. Di sinilah Lidia berlabuh, hatinya mulai terpaut kepada Allah yang Benar, Allah yang patut disembah.
Sampai Akhirnya ia bertemu Paulus dalam sebuah kesempatan. Tuhan membukakan hatinya, sehingga ia menerima dan percaya kepada Kristus sesuai yang diberitakan oleh Paulus.

Proses pencariannya memperoleh hasil, hasil ini diberikan oleh Allah. Allah bekerja dengan ajaib dan tidak terduga. Segala sesuatu Allah lah yang menentukan. Demikian juga pertemuan dengan Paulus, bukanlah suatu kebetulan, semua sudah diatur oleh Allah. Rasul Paulus dihentikan oleh Roh Kudus dari pergi ke Asia yang menjadi salah satu dari provinsi Roma (Kis. 16:6). Ia bermaksud pergi ke Bitinia namun, lagi, Roh Allah menghentikan dia (Kis. 16:7). Kemudian Allah mengirim suatu penglihatan kepada Paulus pada suatu malam, memanggil dia untuk menyeberang ke Makedonia, di Yunani (Kis. 16:9).  "Setelah Paulus melihat penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari penglihatan itu kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana" (Kis. 16:10). 
Kita dapat melihat bagaimana pekerjaan Allah melalui bacaan ini, ajaib dan mengagumkan.

Melihat itu semua, ada satu pelajaran yang menarik. Bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah. Di dalam penghidupan jika kita diberi kesempatan untuk memberitakan injil dan seseorang menjadi percaya, itu bukan perbuatan atau kehebatan kita, melainkan semuanya adalah pekerjaan Allah. Jadi kita tidak boleh sombong dalam hal ini, seolah-olah kitalah yang hebat sehingga orang tersebut bertobat!
Demikian juga kebalikannya, ketika kita memberitakan Injil, dan tidak satu orangpun yang mau bertobat, kitapun tidak perlu berkecil hati, apalagi putus asa. Karena hal ini pun pekerjaan Allah, karena tidak ada orang yang dibukakan hatinya oleh Dia!  Roma 8:28, "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah."

Dan ketika kita ada dalam posisi Lidia, yang menerima pelajaran dari Paulus. Apa yang kita peroleh dari pembelajaran ini? Kehidupan Lidia saat itu sebenar tidak berbeda dengan kehidupan sekarang. Berhala yang ada pada saat itu adalah dewa-dewa yang disembah manusia saat itu, sedangkan 
Berhala saat ini tersamar tapi tetap disembah dalam hati, didambakan dalam hati, seperti kekayaan, jabatan, penghargaan diri dlsbnya. Nah untuk hal-hal itu, apakah kita tetap sibuk dengan hal-hal pencapaian dunia, dan hal-hal duniawi lainnya? Apakah ketika kita duduk dalam Gereja benar-benar hati kita siap dibukakan oleh Allah? Atau hanya duduk diam dan sedikitpun tidak mau mengerti apa yang di Khotbahkan atau yang di ajarkan? Karena hati kita tertutup untuk Firman Allah? Kita bergereja hanya sekedar ke Gereja, tanpa mengerti kenapa kita ke Gereja, dan untuk apa ke Gereja?
Disinilah kita harus hati-hati, kita harus belajar dari Lidia. Jangan sampai terlambat! Ada sebuah konsekuensi yang harus kita bayar ketika kita mengaku sebagai orang Kristen! Yaitu bagaimana mungkin kita mengaku sebagai orang Kristen tetapi tidak mengenalNya. Kalau kita mengenalNya tentu kita akan mengikuti firmanNya. Bagaimana kita mengikuti firmanNya, sedangkan kita tidak pernah membaca firmanNya!
Yohanes 8:55 padahal kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal Dia. Dan jika Aku berkata: Aku tidak mengenal Dia, maka Aku adalah pendusta, sama seperti kamu, tetapi Aku mengenal Dia dan Aku menuruti firman-Nya.

Respon Manusia
Ayat 15 Sesudah ia dibaptis bersama-sama dengan seisi rumahnya, ia mengajak kami, katanya: "Jika kamu berpendapat, bahwa aku sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku." Ia mendesak sampai kami menerimanya

Lidia mengaku percaya, kemudian ia meminta ketegasan kepada Rasul Paulus tentang kebenarannya bahwa ia telah percaya. Ia pun berubah seketika, hati yang penuh sukacita itu ia bagikan kepada sesamanya.
Rasa syukur kepada Kristus mendorong Lidia untuk melakukan sesuatu bagi nama- Nya. Ia membujuk Paulus dan para pengikutnya untuk tinggal di rumahnya dan mengizinkannya untuk melayani dan menolong mereka. Dengan melakukan hal ini, ia menunjukkan sesuatu yang sering kali dianjurkan Alkitab kepada kita: kemurahan hati untuk menerima orang di rumah kita.
• Peliharalah kasih persaudaraan! Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat (Ibr. 13:1-2). 
• Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu (Ef. 4:32). 
• Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan! (Rm. 12:13). 
• Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Mat. 25:40).
Inilah yang diperbuat oleh Lidia.

Bagaimana dengan diri kita yang telah mengaku percaya kepada Kristus? Perubahan apa yang telah kita lakukan? 
Ketika melihat perubahan yang terjadi pada Lidia, ada satu pelajaran yang menarik yang dapat kita ambil yaitu jika asumsi saya benar bahwa Lidia berpindah agama karena mencari sesuatu yang ia dambakan atau inginkan, ini berarti yang menjadi subjek adalah dirinya sendiri. Demikian juga tentang adanya begitu banyak agama di dunia seperti yang disebut di atas, ini juga besar kemungkinan hanya sekedar mencari Allah untuk memenuhi kebutuhan diri manusia. Manusianya yang menjadi Subjek sedangkan Allah hanyalah objek. Kita semua menjalankan agama kita hanya sebatas Mythical Literal faith (menurut James Fowler), artinya secara bebas bisa diartikan bahwa kita beriman kepada Allah karena takut dikutuk, takut tidak dapat rejeki, takut masuk neraka, takut usaha kita mandek, atau kita beriman kepada Allah karena ingin disembuhkan dari penyakit berat, ingin tambah sukses. Jadi kalau disimpulkan semuanya berpusat pada diri kita sendiri, dan Allah tanpa sadar adalah pesuruh kita.
Inilah yang tidak boleh terjadi! Lidia berubah seketika, dirinya bukan  menjadi subjeknya, ketika ia mendengar tentang Yesus yang diajarkan Paulus, ia merasa ada yang lebih berharga daripada kekayaannya yaitu Kasih Anugerah Allah. Ia pasti mengerti arti pengorbanan Kristus di Kayu Salib.
Inilah yang harusnya kita lakukan seperti Lidia.
Ingatkah ketika kita pertama kali menyatakan percaya kepada Kristus, apa yang kita rasakan? Apakah ada perasaan yang luar biasa yang masuk kedalam hati kita, sehingga kita mau dibaptis?
Mengapa hal yang baik itu kita lupakan dengan berjalannya waktu! Kita kembali hidup tidak beda dengan sebelum menerima Kristus? Ini disebabkan hati kita tertutup untuk Roh Kudus yang mengubahkan.

Haruslah kita waspada, sungguh jangan dianggap sepele! Karena itu berarti kita tidak memahami kebenaran yang paling sederhana tentang Injil. Ada sesuatu yang gelap dan Setan yang membutakan mata kita. Paulus sendiri mengatakan bahwa ini benar, "Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah" (II Korintus 4:3-4). 
Sungguh mengerikan dan menyedihkan. Segeralah bersujud di kaki Yesus, mohon pertolongan kepada Nya agar diberikan Roh Kudus untuk melepaskan belenggu dosa dalam kehidupan kita. 
Sebab Allah yang telah berfirman: "Dari dalam gelap akan terbit terang!", Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus" (II Korintus 4:6). 

Kesetiaan
Ayat 40 Lalu mereka meninggalkan penjara itu dan pergi ke rumah Lidia; dan setelah bertemu dengan saudara-saudara di situ dan menghiburkan mereka, berangkatlah kedua rasul itu.

Sebelum masuk kepada ayat 40, ada baiknya kita membaca juga ayat sebelumnya yaitu dari Kis 16: 16-39 yang menceritakan perjalanan Paulus selanjutnya, kemudian dipenjara dan dibebaskan oleh Allah dengan ajaib! Segera setelah bebas, Paulus dan Silas kembali kerumah Lidia. Rumah Lidia sekarang sudah merupakan tempat berkumpulnya orang-orang percaya baru.

Dari ayat 40 ini kita juga dapat belajar banyak, perubahan yang terjadi pada Lidia berlangsung terus dan makin meningkat. Iman Lidia tidak stagnan melainkan tumbuh. Bagaimana dengan diri kita masing-masing?
Mari kita periksa diri kita masing-masing, sudah berapa tahun kita dibaptis, dan mengaku percaya kepada Kristus? Lalu bagaimana dengan perjalanan iman kita? Berubahkah? Makin bertumbuh, atau dari dulu yang begitu-begitu saja?
Memeriksanya mudah sekali untuk membuktikan apakah iman kita bertumbuh atau tidak. Kala kesusahan, himpitan hidup atau beban/ pergumulan hidup yang terasa tidak habis-habisnya datang menerpa, bagaimana sikap kita kepada Kristus? 
Kehidupan kita di Gereja apakah berubah atau mandek? Sehingga orang akan mengatakan, memang dari dulu sifatnya begitu! Sejak muda, saya kenal dia, dia orangnya mudah tersinggung, atau dari dulu memang dia egois, mau menang sendiri, pendapatnya jangan ditentang dlsbnya! 
Hati-hati! Ini ciri-ciri iman yang mandek. Kalau iman kita mandek, apakah masih dapat dikatakan kita benar-benar percaya kepada Kristus?
Yakobus 2:22 Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.

Kesimpulan:
Jadikanlah Allah menjadi Subjek dari segala aspek kehidupan, dan kita yang menjadi objeknya, jangan dibalik. 
Yakobus 1 : (22) Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. (23) Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. (24)Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. (25) Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.

Bogor, 12 Agustus 2016
Luki F. Hardian